Tanda Titik.


Nadira sedang duduk termenung di sudut kamarnya yang redup redam namun menghangatkan. Sesekali ia menyeka air matanya sembari memegang sebuah kertas dan pena kesukaannya. Ternyata kamar tersebut tidak cukup menghangatkan dan menenangkan isi kepala perempuan yang kerap kali disapa Rara ini. Ternyata Ia sedang menulis sebuah surat. Surat panjang yang entah ditujukan kepada siapa. Ia hanya senang menulis surat.
Sembari menulis surat dan menyeka air mata, Nadira mulai tenggelam ke dalam isi pikirannya yang berkecamuk. 

"Aku ingin minta maaf. Demi apapun juga. Aku ingin meminta maaf pada semua orang. Aku yang bersalah disini kurasa. Aku tidak pernah berbuat baik sedikitpun pada semua orang dan juga padamu. Aku tidak pernah bertingkah seolah menghargai setiap hal baik yang kau lakukan. Mungkin kau anggap aku egois tidak tahu diri. Iya memang begitu adanya. Aku memang bodoh. Bertingkah seperti layaknya seseorang yang bisa meninggi lebih dari langit. Aku terlihat sombong tanpa kusadari. Harusnya aku tidak berkelakuan seperti ini. Aku memang jahat tanpa aku sadar. Bisajadi sifatku yang menyebalkan ini yang membuat orang lain tidak ingin bermasalah denganku. Aku jahat. Namun aku selalu menganggap bahwa aku baik. Aku merasa selalu menjadi orang yang paling benar. Dasar tidak tahu diri memang. "Sampai kapan kamu akan dibodohi dengan kesombonganmu sendiri? Rasa tinggi hati mu itu yang membuat orang lain enggan dekat dengan pribadi yang seperti itu" ucapku. Akhir-akhir ini seringkali aku merasa seperti menjadi beban bagi semua orang. Aku merasa kehadiranku sebenarnya sangat tidak berguna bagi semua orang. Seketika aku menjadi orang yang toxic. Maaf jika tanpa aku mengerti tanpa aku sadari aku menjadi seseorang yang sangat menyebalkan di sekitar kalian. Aku terlalu cerewet banyak berceloteh sana sini sehingga mungkin orang-orang bosan dengan candaanku yang terkadang tidak lucu. Aku ingin minta maaf. Seringkali aku bercanda yang tidak masuk akal. Tapi apakah kalian tahu? Bercanda yang kumaksud disini sebenarnya adalah obat bagi diriku sendiri. Aku butuh penenang. Ada banyak beban di kepalaku yang mengharuskan aku untuk berusaha selalu bercanda di depan semua orang dan tertawa. Sering bahkan hampir setiap hari terkadang aku tertawa terbahak-bahak sampai tak kusadari aku meneteskan air mata. Mungkin sebagian dari kalian menganggap bahwa ini hanyalah bualan semata. Bisajadi kalian anggap bahwa aku hanya ingin mencari perhatian saja. Tidak. Aku tidak begitu. Aku punya banyak bahkan beribu beban yang aku pun tidak mengerti dan tidak tahu harus bercerita pada siapa. Aku seringkali menyimpan semua rasa sakitku sendiri. Aku tidak bisa marah jika ada yang menyakitiku. Diam kemudian berusaha untuk tertawa. Iya, caraku begitu. Kalian tahu? Apa rasanya tertawa bersamaan dengan perasaan sedih yang berkecamuk? Tersenyum dengan mata yang sayu? Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi lemah seperti ini. Aku muak dengan semua permasalahan yang tak kunjung usai dalam hidupku. Tidak ada satupun orang yang mampu menyemangatiku. Ah iya, mereka memang menyemangatiku namun mereka kemudian kembali lagi seperti layaknya orang asing yang tidak peduli. Tidak ada satu orangpun yang mengerti bagaimana rasanya menjadi aku. Tidak ada satupun orang yang bisa kujadikan rumah untuk pulang dan mengadu segala keluh kesah yang ada. Terkadang aku merasa sangat bodoh ketika terlintas satu pikiran dibenakku untuk menyakiti diri sendiri. Untuk hilang dari muka bumi ini. Iya. Bunuh diri? Sesekali terlintas dibenakku untuk mengakhiri semuanya. Hatiku sudah terlalu mati rasa. Seringkali aku tiba-tiba menangis sendirian seperti orang gila sambil sesekali berteriak keras tanpa suara dengan harapan bahwa semua beban bisa terasa ringan. Namun nyatanya tidak semudah itu. Jika kalian tau aku seperti ini, tentu saja kalian akan menganggapku gila. Namun tenang saja. Aku belum seberani itu untuk mengambil nyawaku sendiri. Aku masih ingin merasakan rasa sakit yang ada. Jalan satu satunya yang aku lakukan tentu saja tetap dengan menyakiti diri sendiri namun tidak dengan menghabisinya sekaligus. Tapi perlahan. Orang-orang bilang kalau itu namanya self harming. Iya memang benar. Beberapa kali aku sering menggoreskan benda tajam pada lenganku hingga berdarah berharap rasa sakitku segera hilang. Padahal aslinya sendiri aku adalah orang yang sangat takut akan darah. Lucu ya. Aku memang sudah gila. Aku jahat karena telah melukai ciptaan tuhan. Aku jahat pada diriku sendiri."
Begitu isi lembar pertama surat yang Ia tulis. Air matanya kembali bercucuran namun kemudian Ia tersenyum dengan pandangan kosong. Tak lama ia kembali melanjutkan suratnya.

"Sebenarnya sudah sejak lama aku tidak pernah melukai lenganku sendiri. Kali terakhir di tahun 2015 setelah aku dicampakkan dengan kejam oleh seorang laki-laki jahat yang menjadi tempatku bergantung. Sejak saat itu aku tidak pernah menyakiti diri sendiri lagi. Kupikir aku sudah sembuh. Ternyata aku salah. Sampai pada hari ini, semuanya benar-benar terasa sangat berat bagiku. Semua permasalahan muncul begitu saja dan bertubi-tubi sehingga terlintas lagi pemikirian untuk mengakhiri semuanya. Semua masalah baik itu dari rumah ataupun kampus dan juga dia. Sebenarnya aku rasa aku akan baik-baik saja jika hubunganku berjalan lancar dengannya. Namun malah justru sebaliknya. Aku yang memang sudah memiliki beban berat karena permasalahan di keluargaku. Kemudian teman-temanku yang mulai sibuk dengan diri mereka masing-masing. Lalu terakhir, dia. Jika sudah seperti ini, kepada siapa lagi aku bisa bercerita? Aku ingin bercerita. Tolong. Aku hanya bisa bungkam sambil bepura-pura tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Aku benar-benar ingin bercerita sekali saja. Semuanya benar-benar kacau saat ini. Aku tak lagi mempunyai semangat untuk melakukan apapun di dalam hidupku. Aku tidak punya target dan aku tidak punya alasan untuk bahagia."

Nadira menghentikan langkah penanya dan kembali menatap kosong ke arah jendela. Sesekali ia memegang kepalanya dengan kuat. Tiba-tiba ia menarik rambutnya dan melanjutkan tangisannya sembari tertawa. Bagimana bisa menangis dan tertawa disaat yang bersamaan? Begitulah Nadira. Nadira yang mereka kenal diluar sana sangat berbeda dengan Nadira yang sedang berada di dunia aslinya. Setelah sedikit tertawa, Ia terlihat bersemangat melanjutkan suratnya lagi tapi anehnya air mata tetap saja mengalir dari sudut mata sayu nya yang sedikit sembab itu. Ia mengambil sedikit pecahan cutter yang tajam dan meletakannya di lantai tepat didekat telapak kakinya.

"Akhirnya aku berakhir dengan menyakiti diri lagi. Akhirnya lenganku tergores lagi dan untung saja rasa sakitku sedikit berkurang. Sedikit. Benar-benar hanya sedikit, hanya sebagian kecil dari rasa sakit yang begitu menumpuk di hati. Aku suka. Aku suka melihat darah yang muncul di lenganku yang menandakan bahwa ternyata aku hidup. Aku ingin bertima kasih pada semua orang terutama kamu yang sudah menaruh patah hati terbesarku sehingga aku berani untuk mengulangi kebodohanku setelah 5 tahun tidak pernah aku lakukan. Aku juga ingin meminta maaf karena aku sudah membuatmu membuang-buang waktu hanya untuk menanggapi candaanku yang tidak lucu. Dan aku, ingin minta maaf pada semua orang yang hidupnya seringkali aku bebani selama ini. Aku ingin minta maaf. Maaf, maaf, dan maaf. Maaf".

Nadira menutup tutup penanya. Pena yang dipakainya untuk menulis surat yang awalnya berwarna hitam kini berubah menjadi merah. Tidak terdengar lagi suara tangis dari perempuan itu. Begitu ternyata ia mengakhiri suratnya dengan tanda titik.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Right Ways That You Need To Do For Interviewing Someone

Cindy Bella Difia, a Student of English Department Became the Representative of Asia Youth International Model United Nations 2018 in Thailand

Kita ini kenapa?